Dua bulan lalu aku ngelamar kerja di perusahan di kota S yang berbeda provinsi. Cukup jauh ya karena beda provinsi. Lalu kenapa aku mempertaruhkan hidupku yang di kota saat ini untuk pindah domisili.
Jadi gini, saat ini aku berada di salah satu kota besar di Indonesia. dimana semua perkembangan teknologi informasi meningkat cepat. Tetapi selain itu persaingannya tiada tara dong. Nyari pekerjaan disini itu susah-susah gampang. Lowongan kerja itu banyak seabrek. Tapi kualifikasinya yang semakin ga masuk akal. Belum lagi kebutuhan hidup itu banyak. Belum lagi pertentangan pendapat dengan istri banyak juga.
Wwkwkw.
Tapi beda pendapat dengan istri itu wajar yaa.. Bukan untuk ditakuti. Dijalani dan diseleseikan dengan semaksimal mungkin. Karena pernikahan itu ibadah seumur hidup. Ingat itu ya gaesss !
Oke balik lagi. Jadi intinya aku mau hidup di kota S yang ada di provinsi lain, karena jaminan hidup selama disana. Iya. Karena sudah menua. Yang dipikirkan adalah bagaimana jaminan hari tuamu ketika kamu lebih tua lagi dari yang sekarang. Gimana? Mantap ga?
Sebenernya aku ga terlalu suka pindah kota apalagi pindah provinsi ketika aku ngerasa cukup di kota yang sekarang. Jadi aku mencoba untuk mengalahkan egoku demi peluang masa depan yang lebih baik. Peluangnya terllihat lebih besar, wlopun jaminan itu ga benar-benar ada. Yang aku pastikan bahwa aku akan bangga ketika itu tercapai. Karena aku akan melakukan perubahan besar yang aku pikir itu baik untuk aku dan istriku.
Tapi ternyata, aku gagal di tahap paling terakhir. Pada saat persentasi di depan dirut, aku gagal. Tetapi gagalnya bukan bikin sedih, tapi bikin emosi. Gaess, itu dirut meragukan kalau teknologi bakal bisa ngebantu bisnisnya. Jadi itu bukan sesuatu yang dengan mudah aku cover.
Well, aku ngerasa jadi banyak tekanan yah. Gaboleh menghindar dan harus dijalani. Ketika aku sudah berharap nih pake hati pula, ternyata ga lolos seleksi dengan cara seperti itu. Rasanya gini, aku pulang dari kota S dan berharap balik lagi, dan faktanya aku ga bakal balik lagi kesana. Jadi seperti ada yang tertinggal.
Jadi inget jaman pas belum nikah, kalo ngobrol sama temen-temen deket yang udah kenal bertahun-tahun. Ngobrolnya harapan yang tinggi banget, kayak punya keinginan yang pasti suatu saat bisa dicapai. Kayak belum kenal hambatannya apa aja. Yang penting berharap dulu pake hati.
Sedangkan berbagai harapan itu belum bisa terwujud sampai hari ini. Bahkan memang ada beberapa hal yang ga akan bisa terwujud sampe kapanpun. Karena sejak nikah, aku memutuskan untuk seperti orang normal umumnya.
Orang normal itu mikir bukan pake hati dan harapan, tapi harus pake fakta dan tanggung jawab.